Pure Love 4

Pure Love

 

PURE LOVE 4

.

“Shin Soojung?” Tungkai kanan Soojung spontan bergerak mundur tatkala pria di ambang pintu menyebut lancar namanya. “Bagaimana bisa kau di sini?”

Butuh beberapa sekon bagi Soojung menelan fakta bahwa dia yang berada di hadapannya adalah Kim Myungsoo. Hingga jemari kanannya hampir menyentuh kenop dan menutup pintu kembali untuk mengenyahkan wajah pria yang selalu berpayah ia hindari itu, tetapi Minho keburu menahan tangannya.

“Siapa anda?”

“Senang bertemu dengan anda, saya Kim Myungsoo dari El group. Jika tidak salah, anda Eksekutif Muda Choi Minho?”

“Senang bertemu anda juga.” Minho menyambut jabat tangan Myungsoo dengan sebelah tangan selagi tangan kirinya masih menangkup pergelangan Soojung dalam genggaman. “Sepertinya kalian sudah pernah bertemu sebelum ini, ya?”

“Bisa dikatakan begitu. Iya, kan, Nona Shin Soojung?”

Satu ujung sisi bibir Myungsoo terangkat membuat perut Soojung seketika mual, maka ia hanya mengangguk sekadar sembari menarik tangannya lepas dari Minho—karena merasa tidak etis jika terus bergandengan.

“Anda harus segera menghadiri rapat, Tuan.” Pria paruh baya di belakang Myungsoo bersuara—mungkin sekretarisnya. Lalu Myungsoo memeriksa arloji perak yang melingkari tangan kiri.

“Sepertinya kita akan sering bertemu di waktu mendatang, sampai jumpa.”

 

***

 

Sebuah kafe bernuansa hijau segar di samping gedung perusahaan Minho cenderung sepi siang ini. Hanya tiga dari sepuluh meja yang terisi. Perpaduan musik instrumental saksofon yang mendayu dari speaker dengan gemericik air mancur di kolam kecil pojok ruangan memberi efek menenangkan pengunjung di sini; salah satunya Choi Minho.

Pria berjas hitam itu mengendus aroma kopi dalam cangkir putih yang tangan kanannya pegang. Menyeruputnya sedikit. Mendesah setelah satu tegukan hangat mengaliri tenggorokan, lantas meletakkannya kembali dekat segelas chocolate float di atas meja.

“Kau wajib melakukan semua yang dituliskan Manajer Baek di situ mulai sekarang,” katanya sambil menyanggah kepala. Menatap gadis yang sibuk mencermati beberapa lembar kertas di hadapannya. “Omong-omong, sepertinya kau akrab dengan pria tadi. Maksudku Eksekutif Muda dari El group yang namanya Kim Myungsoo itu.”

Sang gadis tidak bergeming. Melipat halaman pertama dan berlanjut membaca halaman ke-dua.

“Nona Shin? Sengaja mengabaikanku?” Minho mengerling malas. Lalu pandangan berpendar ke lalu-lalang kendaraan di luar kaca jendela kafe. “Kelihatannya kau lebih dari akrab dengannya.” Telunjuk kanan mengetuk-ketuk meja. “Lebih akrab seperti… hm… bersaudara? Atau mungkin… kekasih?”

Menyodorkan kertas ke tengah meja sambil menunjuk poin 24, Shin Soojung membelalak. “Membangunkan anda setiap pagi? Tugas sekretaris macam apa ini?”

“Oh, itu. Lakukan saja.” Minho menyesap kopinya santai; bola mata Soojung hampir lepas. “Poin tugas dalam daftar adalah semua yang dilakukan Manajer Baek selama ini, dan sekretarisku sekarang itu kau, kan? Tapi tidak masalah jika keberatan, orang lain masih banyak yang berminat.”

“Tidak, tidak, baiklah.” Gadis itu menarik kertas kembali. Melanjutkan membaca poin ke-25 seraya memijat kening.

“Jadi kau saudara atau kekasihnya?” Tahu Soojung berlagak tidak mendengar lagi, Minho merampas kertasnya. “Apa telingamu memang tuli setiap matamu bekerja?”

“APA?! Tidak sopan!”

“Jawab singkat saja kenapa?”

“Kekanakan.”

“Jadi hubungan kalian apa?”

“Di dalam daftar tugas sekretaris tersebut tidak ada kewajiban memberitahu urusan pribadi kepada anda, jadi terserah saya hendak menjawab atau tidak. Sekadar mengingatkan, mohon anda jangan memancing saya berbicara banmal.” Mungkin terlalu frustasi, Soojung buru-buru menenggak minuman cokelatnya.

Minho meraba-raba saku jas dan kemeja, kosong. Beralih memeriksa kantong celana, ia berhasil menemukan sebuah pena tinta hitam. Menggunakan itu untuk menulis sesuatu di kertas halaman terakhir baris terbawah, menambahkan satu poin terbilang ceritakan semua hal pada Choi Minho kemudian menggesernya agar dibaca oleh Soojung. “Sekarang kau tidak bisa membantah.”

“Hei, itu tidak adil! Ah, maksud saya, maaf sepertinya itu tidak adil, Sajangnim.

“Bagaimanapun kau wajib menuruti perintahku.”

“Gosh.”

“Apa kau akrab dengannya? Jawab ya, atau tidak.”

Soojung memutar manik mata. “Ya, dulu.”

Bibir Minho mengembang manis sekali. “Awal yang bagus.”

“Huh?”

“Kau sudah tahu hubungan bilateral dengannya dilimpahkan padaku, kan? Dengan begitu pasti akan lebih mudah.” Tiba-tiba Soojung mengembus napas berat seperti orang kesusahan. “Kenapa bernapas begitu? Ada masalah?”

Gadis itu mengangguk. Wajah semakin lesu. “Ya, ada. Masalah besar sekali.”

“Betulkah? Kasihan sekali. Bukan urusanku.”

“Sial!”

“Berani mengumpatiku?! Awas kau bicara begitu di kantor!”

“Kau sendiri yang terus memancingku, Bodoh!”

“Apa?! Bodoh?! Kupotong gajimu sepuluh ribu won!”

“Sudahlah, saya mau selesaikan membaca tugas saja!”

 

***

 

“Hari ini selesai sampai disini.” Minho berdiri. Mengenakan jas hitam yang tersampir di sandaran kursi kafe dimana ia tempati tadi. Gadis yang masih duduk di hadapan tampak menatapnya kebingungan. “Tidak ada jadwal lain, kan? Kau bisa pulang.”

“Oh, baiklah.” Sang gadis pun bangkit. Memberi salam dengan membungkuk singkat padanya, kemudian duduk lagi. Membuat kerutan vertikal terbentuk di antara alis Minho.

“Kubilang kau boleh pulang, Sekretaris Shin.”

“Iya, saya tahu. Tapi sebentar lagi sudah jam makan siang, saya ada janji bertemu temanmu di sini.” Soojung mendengus lalu menggerutu, “Jelas dia temanmu tapi kenapa malah bertemunya denganku? Aneh.”

“Kau kata temanku? Siapa?”

Soojung memutar bola mata. “Masa lupa? Teman yang kau berikan nomorku itu. Cih! Tidak peduli kau atasan saya seharusnya bukan hakmu menyebar-luaskan informasi orang lain seperti itu. Lelaki bodoh memang kau, tidak kaget saya.”

Minho membelalak. Menyeret kursi dan kembali mendaratkan pantat di situ. “Maksudmu Kim Woobin?”

“Kim Woobin atau Lim Wonbin? Entah. Yang pasti perawakannya mirip dinosaurus,” jawab Soojung tak acuh. Meneguk minuman cokelatnya. Tampak tak ambil pusing tentang siapa teman atasannya.

Berbeda dengan Minho yang menyugar rambutnya kasar. Kelihatan frustasi. Muskil jika pemuda semacam Woobin tidak punya rencana di balik itu semua. Jika diingat, Minho tidak pernah memberikan nomor Soojung pada siapapun. Tapi kemarin saat Woobin datang ke kantornya, ia tidak lupa kalau teman sialannya itu sempat meminjam ponsel tanpa alasan yang jelas.

“Kau pulang saja biar aku yang mengurusnya,” kata Minho bagai pria bijaksana.

“Begitukah? Oke.” Soojung menggaet tas jinjing merahnya. Hendak berdiri namun diurungkannya kala musik dalam kafe berganti menggemakan lagu ballad R&B milik SHINee. “Aku akan pulang sehabis One For Me.”

“One For Me?”

“Judul lagu ini.”

Minho sebatas memandang Soojung sekilas sebelum menerima telepon yang menyebabkan ponselnya bergetar. Segera suara menenangkan ibunya menyapa gendang telinga. Beliau mengingatkan supaya menghadiri rancangan kencan buta akhir pekan ini, yang berarti besok malam. Minho terdiam. Raut muka tampak berubah enggan. Sedikit lama keheningannya menyebabkan sang ibu memanggil-manggil namanya di seberang. Sampai ia berucap yang membuat wanita paling berharganya mendesah lega, “Ya, Bu, tenang saja.”

“Hei.” Mendadak Soojung berseru setelah Minho menaruh ponsel di atas meja. Mengawasi wajah Minho seperti mengamati rupa alien. Alis tertaut seraya mata memicing. Pemuda yang ditatapnya sampai keheranan ngeri. “Kau tahu grup SHINee, tidak?”

Minho menggedik bahu. “Memangnya kenapa?”

“Kalau dilihat-lihat kau mirip salah satu anggotanya. Hanya sedikit, sih, jelas jauh lebih tampan dia.”

Mengangguk sekadar, Minho menimpali, “Tidak heran, sih, kalau kau bilang begitu. Kau ‘kan memang gadis gila jadi tidak bisa membedakan mana yang asli tampan dan tidak.” Ditahannya tawa ketika wajah Soojung memerah naik darah. “Ingat, satu umpatan sepuluh ribu won!”

Getaran ponsel Soojung yang berada dalam tas terdengar sampai luar. Segera ia ambil benda penuh layar berbingkai putih itu. Tulisan Temannya Choi Minho terpampang sedang menelepon.

“Temanmu,” ujarnya memperlihatkan layar pada Minho. Sejenak mata Minho melebar, mengulurkan tangan supaya ponsel dialihkan padanya. Tanpa banyak pikir Soojung pindah ponselnya ke tangan si pemuda.

“Halo?” sapa Minho membuka obrolan. Suara temannya di sambungan telepon terdengar kebingungan. Menanyakan keberadaan Shin Soojung dan siapa ia. Menjawabnya, Minho iseng memperkenalkan diri sebagai kekasih Shin Soojung. Kemudian temannya buru-buru menjelaskan bahwa dia adalah rekan kerja Soojung dan menghubungi sang gadis guna membahas sebuah proyek.

Terbukanya pintu kafe membuat lonceng yang terpasang di ambang berbunyi. Minho tersenyum miring mendapati satu pengunjung pria bertubuh tinggi yang baru memasuki kafe sambil bertelepon. Itu sahabatnya, Kim Woobin.

“Proyek apa maksudmu, Bodoh? Kau mau melibatkan Nona Shin buat acara hari jadi klab-mu itu? Tidak masuk akal,” katanya sengaja begitu tatapan  bertemu milik Woobin.

“Sialan!” umpat Woobin seraya menyeringai. Memutus sambungan telepon. Menghampiri meja Minho yang ada di dekat jendela dan duduk di samping sahabatnya. “Jadi kau kekasih Nona Shin?”

“Bercanda.”

“Kalau begitu bisakah pergi? Kehadiranmu tidak dibutuhkan di sini.”

“Cih.” Tidak peduli sarkasme Woobin, Minho rileks menghabiskan kopinya sekali tenggak. Bersanggah dagu, ia memasang senyum ejek pada Woobin yang menatapnya. “Kenapa? Katamu mau membahas proyek kerja?”

“Jadi, Nona Shin,” Woobin menautkan kedua tangannya. Berfokus pandang penuh keseriusan pada Soojung. Sang gadis pun juga, mengantisipasi ucapan Woobin selanjutnya. “Pertama-tama, apa kau senang menari?”

“Menari?” Pandangan Soojung berkitar ke atap kafe, seperti menimang bakatnya dalam bidang itu. Sedang Minho reflek menatap sengit Woobin yang menyengir. “Tidak buruk, saya hobi menari. Kenapa menanyakan itu?”

“Besok malam…”

“Tunggu!” sela Minho. Sejenak mengernyit dengan memejamkan mata. Seolah dilemmakan sesuatu. Setelah mendapat keputusan, ia berkata cepat, “Jadwal penuh besok malam.”

“Apa?” tanya Soojung disusul Woobin hampir bersamaan. Wajah semakin bingung saat Minho malah mendengus.

“Aku dan Soojung punya jadwal untuk besok malam. Cari saja bantuan orang lain.”

“Soojung?” heran Woobin. Sebab Minho bisa-bisanya menyebut Shin Soojung secara tidak formal.

“Nona Shin, maksudku. Duh, terserahlah.” Dikibaskannya tangan ke depan wajah, Minho lantas berdiri. Menggantung jas di lengan kiri. “Besok jam enam sore saya jemput ke rumahmu,” tukasnya pada Soojung.

“Tapi besok hari Sabtu. Bukankah harusnya libur?”

“Ada jadwal mendadak. Bersiap-siap saja besok.”

Soojung tidak berkata-kata lagi, hanya mengembus napas berat. Minho beranjak lebih dulu. Meninggalkannya sendirian bersama Woobin—pemuda asing yang tidak begitu ia kenal, tetapi kesan buruknya ketika pertama kali bertemu dulu perlahan hilang karena sikap sopannya hari ini. Terjerat dalam kecanggungan, ia menghabiskan minuman cokelatnya. Kemudian mengemasi kertas tugas ke dalam tas.

“Saya pergi dulu,” katanya sambil berdiri. Membungkuk sekilas pada Woobin. Pemuda pun mengangguk membalas salamnya.

“Oh, ponsel siapa ini?” Woobin menunjuk ponsel hitam tergeletak dekat cangkir putih bekas kopi di atas meja. Soojung menggeleng, tanda bukan kepunyaannya. Karena ponselnya sendiri berbingkai putih. Bicara tentang ponsel, Soojung baru ingat bahwa miliknya masih belum dikembalikan oleh Minho selepas menjahili Woobin tadi.

“Berarti milik Choi Sajang. Akan kubawakan.” Dimintanya ponsel hitam dari tangan Woobin, kemudian berangkat keluar setelah membungkuk sekali lagi pada pemuda.

 

***

 

Di tengah ruangan luas dimana dindingnya berlapis peredam suara merah tua, Lee Jongsuk dan Kang Haneul beradu billiard. Tidak ada yang menyambut ketika Minho datang, melepas jas dan menyampirkannya di punggung sofa cokelat berbahan kulit, sampai menduduki kursi mini bar bercahaya biru dimana terdapat botol anggur dan gelas berjajar. Jongsuk mendesis karena bolanya hanya melenceng sedikit dari lubang; Haneul tertawa menang. Sambil mengumpati bola, Jongsuk mengeluarkan 500.000 won dari dompet, membantingnya ke atas meja billiard. Diambilnya uang itu oleh Haneul yang belum berhenti tergelak.

“Mau main lagi?”

“Kubunuh kau lain kali!”

“Bagaimana kalau satu juta? Berani?”

“Kau merendahkanku sekarang? Damn!”

Jongsuk bersungut-sungut menghampiri Minho. Duduk di samping sahabatnya yang sedang meneguk minuman fermentasi anggur. Alih-alih mengambil gelas baru, Jongsuk meminjam gelas Minho dan minum bersama.

“Haneul sialan!” umpat Jongsuk. Bibir Minho menyunggingkan senyum samar lalu menuangkan wine ke dalam gelas berisi dua kotak es batu di tangan Jongsuk.

“Makanya kalau main, main saja. Tidak usah pakai taruhan. Tidak usah pakai uang.”

“Hidup tidak seru kalau tak punya tujuan, main billiard juga begitu.”

“Sia-sia memberitahu Minho, buatnya pasti tidak ada yang lebih seru dari menonton langsung pertandingan Manchester!” sahut Haneul dari belakang, yang duduk di depan televisi. Sibuk memilih lagu untuk berkaraoke.

Mendadak Minho mengeluarkan ponsel yang bergetar dari dalam kantong celana. Detik itu juga ia terkejut bahwa ponsel bukanlah miliknya. Diletakkannya di atas meja, mengabaikan panggilan telepon dari nomor tak dikenal pada ponsel itu.

“Kenapa dibiarkan saja?”

“Bukan punyaku.”

“Mana bisa di tanganmu?”

“Aku lupa mengembalikannya tadi, sepertinya punyaku ketinggalan di kafe.”

Tiba-tiba raut muka Jongsuk berubah antusias. “Kafe? Kau habis berkencan?”

“Berkencan membicarakan pekerjaan?”

“Jadi di kafe bersama Sekretaris Baek?” Jongsuk menghela napas kecewa. Menenggak segelas minuman.

“Bukan lagi.”

“Maksudmu?”

Kemudian getaran ponsel berhenti. Namun tiga detik setelahnya dimulai lagi dari nomor yang sama. Kali ini sikap apatis Minho berhenti. Ia sambar ponsel itu dan menerima teleponnya.

“Halo?”

“Halo?”

Minho diam sejenak. Melalui suara, kedengarannya seseorang di seberang telepon adalah seorang pria. “Dengan siapa?”

“Kau yang siapa?”

“Apa?”

“Ini nomor Shin Soojung, kan?”

“Ya.”

“Di mana dia?”

“Tidak di sini.”

“Jangan bercanda. Beritahukan padanya, Kim Myungsoo mau bicara.”

Dahi Minho mengernyit. “Oh, jadi kau Kim Myungsoo?”

“Huh? Kau siapa?”

“Aku Choi Minho.” Berdetik hening. Myungsoo terdengar tidak bergeming. Akhirnya Minho melanjutkan, “Nanti akan kuberitahukan padanya jika kau menelepon, supaya dia menghubungimu balik.”

“… tidak perlu.”

“Tidak apa-apa, santai saja.”

Setelah memastikan tidak ada sahutan lagi dari Myungsoo, Minho memutuskan sambungan telepon. Kemudian mengetikkan nomornya sendiri. Mendapati kontaknya diberi nama Bos Choi di ponsel Soojung, bibir tiba-tiba mengulas senyum, tetapi langsung sirna ketika Haneul menyetel musik rock Seo Taiji keras-keras untuk dinyanyikannya berkaraoke.

Biasanya, apabila musik karaoke telah dihidupkan, tidak akan ada yang didengar selain si pemegang mikrofon. Dan sekarang hanya ia yang tidak membawa. Jongsuk entah sejak kapan menggenggam mikrofon dan sekarang sedang berduet dengan Haneul.

Minho berlari keluar. Berdiri di depan pintu selepas menutupnya rapat. Tatkala ia melihat layar ponsel lagi, terdapat sebuah pesan dari kontak bernamakan Ibu, mengatakan bahwa beliau sudah berada di terminal Seoul dan hendak berpindah menaiki bus selanjutnya untuk sampai di rumah Soojung. Buru-buru Minho menghubungi nomor ponselnya sendiri, menunggu nada sambung berhenti dan Soojung menjawab teleponnya.

 

***

 

Kepala Soojung terus menunduk selagi duduk di kursi halte. Kaki bergerak-gerak menendang angin. Sesekali menengok kiri dimana arah bus akan datang. Oh, tampak satu bus di ujung jalan. Soojung berdiri. Menatap sampainya bus dengan sorot penuh harap. Hanya ada satu lelaki asing yang keluar dari bus, membuatnya menghela napas. Paman supir bus menanyainya hendak masuk atau tidak, ia menggeleng. Melangkah mundur dan duduk lagi.

Begitu Minho memberitahunya melalui telepon jika ibu hendak datang tiga puluh menit lalu, ia lekas bergegas dari apartemen dan menunggu di sini. Sudah tiga bus yang lewat tetapi ibu belum kunjung tiba. Segenggam permen mint yang ia raup dari toples sebelum berangkat ke halte sudah habis. Sehingga hanya tersisa bungkusnya saja dalam saku sweater.

Tadi kala berbincang singkat di telepon, Minho sempat menanyakan alamatnya, katanya ingin menukar ponsel sekarang juga. Tetapi sampai detik ini pemuda itu belum tampak batang hidungnya.

Sedan hitam yang baru saja melintas kencang tiba-tiba berhenti, sampai suara decitan akibat gesekan aspal dengan ban membuat Soojung memandang ke arahnya. Secara pasti mobil itu berangsur mundur. Soojung mengernyit. Kini mobil sempurna terparkir di sebelah halte tempatnya sedang duduk. Kemudian pintu pengemudi mobil terbuka. Wajah penasaran Soojung kembali biasa ketika Choi Minho keluar dari dalamnya sambil menggenggam ponsel putih.

Soojung mengeluarkan ponsel hitam dari dalam saku sweater kanan. Mengulurkan benda itu saat Minho tiba tepat di hadapan. Melepas ponsel hitam, ia dapatkan ponsel putih.

“Terimakasih.”

“Buat apa?”

“Sudah memberitahuku kalau ibu mau datang.”

“Aku cuma ingin mengambil ponselku kembali.”

“Tetap saja.”

Soojung mendongak menatapnya, tersenyum. Minho berjengit. Berpaling  ke samping setelah terkunci dalam pandangan Soojung sedikit lama. Kerjap mata pemuda itu menjadi begitu cepat. Jari telunjuk dan tengah tangan kiri menyentuh kikuk belakang cuping telinga.

“Oh, iya, tadi ada—“ Ucapan Minho tersendat karena mendadak Soojung sumringah dan beranjak.

“Ibu! Untuk apa membawa barang sebanyak itu? Ibu mau menginap?”

“Tidak. Cuma kemarin ibu membuat kimchi dan banyak kue. Semua isinya itu makanan, ada buah juga. Kau senang, kan?”

Soojung menurunkan bawaan milik ibunya yang sedang berhati-hati menuruni tangga bus. Tampak kepayahan mengangkat satu koper biru dongker dan satu tas outdoor hitam. Tubuh Minho seketika bergerak mendekati sang gadis. Bibir lancar mengucap, “Mau kubantu?”

 

***

 

“Kau serius membawa semua ini ke lantai tiga lewat tangga darurat? Kenapa tidak lift saja?”

“Di sini tidak ada lift. Dan ini bukan tangga darurat, tapi tangga utama.”

Minho menggeletakkan dua tas sekaligus yang beratnya minta ampun itu di depan pintu kamar apartemen lantai tiga bernomor 3-2 setelah sang gadis berkata bahwa di situlah tempat tinggalnya. Napas terengah. Wajah memerah. Peluh membasahi pelipis, leher dan tengkuk, sampai kemeja putih bagian dada dan punggungnya.

“Terimakasih, Nak. Kau baik sekali,” ujar ibu Soojung. Senyum merekah membuat Minho yang masih berusaha mengatur napas tersenyum juga.

“Ayo masuk, Bu,” kata Soojung setelah mengkombinasikan angka pada kotak password kemudian membuka pintu. Mengusung tas milik ibu ke  ruang tengah bersama Minho yang tanpa disuruh membantu. Pandangan Soojung menjadi sungkan melihat si pemuda jangkung. “Terimakasih, lagi.”

Minho mengangguk. Menatap Soojung lama. Sedikit pun tidak bergeming. Hingga tidak menyadari terbentuknya kerutan pada kening sang gadis.

“Minumlah dulu.” Ibu Soojung tahu-tahu sudah menyodorkan segelas jus jeruk kepadanya, Minho baru tersadar. Menerima gelas itu seraya tersenyum.

“Terimakasih.”

Sehabis jus jeruknya ia teguk, Soojung meminta gelasnya. Mungkin supaya Minho tidak perlu repot-repot mengembalikannya ke dapur.

“Kalau begitu saya pergi dulu. Terimakasih, eommeonim,” salamnya sambil membungkuk sopan. Lantas ia diantar oleh Soojung sampai ambang pintu depan.

Begitulah pemuda itu pulang dan lupa memberitahukan sesuatu yang awalnya ingin ia sampaikan.

 

***

 

“Kau belum mengenalkan pria itu pada ibu.”

“Oh, iya. Belum sempat tadi.” Soojung menghentikan gerak mulutnya yang mengunyah nasi berlauk kimchi. Memandang ke depan dimana tempat ibu duduk lesehan berhadapan dengannya di meja rendah ruang tengah ini. “Dia bosku, Bu.”

“Yang mengangkatmu jadi sekretaris itu? Pantas, dia memang kelihatannya baik sekali.” Ibu berkata tepat tatkala Soojung menelan makanannya. Membuat Soojung tersedak sehingga menepuk-nepuk dada. Dengan sigap ibu membukakan botol air mineral untuk putrinya minum.

“Baik? Sekali?” kata Soojung setelah meneguk air mineral. “Kebaikannya hanya kadang-kadang, bukan baik sekali.”

“Tapi sepertinya dia lebih bisa diandalkan daripada Myungsoo.”

“Apa hubungannya dengan Myungsoo?”

“Tidak ada salahnya kalau dia menggantikan Myungsoo di sampingmu, kan?” Ibu Soojung terkekeh melihat putrinya membelalak.

“Ibu!”

 

***

 

Ponsel di atas nakas kayu bergetar menandakan satu pesan. Jarum jam pada dinding bercat biru muda sudah mengarah pukul delapan. Tetapi korden merah jambu masih menghalangi sinar pagi masuk melalui jendela. Di atas kasur dengan seprai bergambar daun-daun musim gugur, Soojung belum terbangun. Sekujur tubuh masih tergulung dalam selimut tebal hijau muda kecuali kepala. Tidak ada tanda-tanda kelopak mata hendak membuka. Napasnya juga sangat teratur seperti tidak ingin meninggalkan alam mimpinya yang damai.

Sepuluh menit sebelum pukul sembilan, Soojung menggeliat buat meregangkan otot-ototnya. Menyibakkan selimut lantas duduk. Mata mengerjap-kerjap pelan dengan kelopak masih bengkak. Setelah beberapa detik sampai kesadarannya terkumpul, ia meraih ponsel dari atas nakas dengan tangan kanan. Mendapati sebuah pesan keningnya berkerut.

 

From: Bos Choi

 

Jangan lupa nanti jam tujuh malam. Berdandan yang cantik dan pakai baju dominan biru. Oke?

 

.

.

TBC

4 thoughts on “Pure Love 4

  1. Mr.choi kayanya udh dapat lampu hijau dr ibu soojung wkwk stelah jd sekertaris sepertinya soojung akan jd teman kencan pura2 minho biar gx disuruh kencan buta lg sama ibunya :v

  2. Lampu hijau dr ibunya soojung nih si minhoo wkwk
    myungsoo pst seneng tuh bs ketemu soojung trus .
    Mau dibw kemana tuh soojung sm si minhoo ya eonni? Jgn2 mau dibw ke acara keluarga atau kencan wkwk
    Ditunggu klnjtnnya eonni^^

Leave a reply to Cho Hyo Jin Cancel reply